Kamis, 15 November 2007

MEMBANGUN KEPEKAAN SOSIAL (KECERDASAN EMOSIONAL) MELALUI INTERAKSI SEKOLAH INKLUSI

Oleh: HERI MAULANA

(Transformator Pendidikan)

UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III ayat 5, menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini dapat diartikan semua orang berhak memperoleh pendidikan yan layak sama dan tanpa diskriminasi, termasuk warga negara yang memiliki kesulitan belajar seperti kesulitan membaca (disleksia), menulis (disgrafia) dan menghitung (diskalkulia) maupun penyandang ketunaan (tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras). Dengan demikian, tidak ada lagi pemisahan atau perbedaan pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi warga negara Indonesia yang memiliki kelainan dan atau kesulitan belajar.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa memungkinkan terwujudnya kebebasan dalam memperoleh pendidikan. Salah satu yang dihasilkan adalah internet, internet menghasilkan program pendidikan tanpa batas dan dapat dinikmati oleh siapa saja di seluruh dunia. Sama halnya dengan perkembangan dalam dunia pendidikan. Dahulu kita mengenal pendidikan khusus bagi anak yang memiliki “kebutuhan khusus” dalam belajar, mereka dibedakan dan “terbatasi” dengan dunia luar dan sosial. Bertahun-tahun mereka hanya dapat melihat dan menyimpulkan dalam hati, “ternyata dunia begitu sempit dan duniaku terpisah jauh dari yang lainnya”. Secara kebutuhan memang pendidikan khusus dapat memberikan perhatian dan pendekatan pendidikan yang tepat dan fokus, tetapi bagaimana dengan kondisi emosional bagi anak berkesulitan belajar (kebutuhan khusus)? Ternyata mereka juga memiliki perasaan untuk diperhatikan dan dipandang sama dengan anak-anak yang normal.

Pada perkembangannya, diperkenalkanlah program pendidikan yang tidak lagi memisahkan antara anak yang berkebutuhan khusus dengan anak yang normal, program ini lebih dikenal dengan pendidikan terpadu atau inklusi, program pendidikan ini merupakan bentuk pelayanan dan bantuan yang diberikan kepada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus di sekolah umum (mengikutsertakan anak-anak berkebutuhan khusus/cacat untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak normal sebayanya di sekolah umum), yang pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah itu, sehingga tercipta suasana pembelajaran yang kondusif (Rogers dan Moore dalam Sunardi :1997). Hal ini sejalan dengan Surat Keputusan (SK) Mendikbud Nomor: 002/U/1986 Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan terpadu ialah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak cacat yang diselenggarakan bersama-sama anak normal di lembaga pendidikan umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Menurut Dr. Euis Karwati, MPd., Kasubdis PLB Diknas Provinsi Jawa Barat, pada awalnya banyak perdebatan yang timbul dimasyarakat terhadap implementasi pendidikan inklusi, namun pada akhirnya program ini dapat diterima ditengah masyarakat dan Jawa Barat berhasil menjadi provinsi yang terbaik dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusi. Selain itu kita juga mengetahui bahwa sudah banyak anak yang berkebutuhan khusus yang sukses dan memiliki banyak prestasi, Sebagaimana yang dicontohkan oleh Amstrong (1997) bahwa banyak penyandang tunarungu memiliki prestasi tingkat nasional maupun internasional seperti: Samuel Jhonson, Thomas Alva Edison, Granvill Redmond, Marlee Matlin, Ludwig Van Beethoven, dan Helen Keller. Selain itu mereka yang memiliki kekurangan dapat berprestasi dalam dunia olahraga/ olympiade dan banyak menjadi motivator dan inspirasi bagi para pengusaha sukses, pemimpin dan orang-orang normal lainnya.

Banyak hal yang sudah dibuktikan oleh mereka yang selama ini terpisah dan dipisahkan dari kehidupan normal. Keberadaan mereka di dalam pendidikan normal dan sekolah formal sudah seharusnya menjadi sumber baik untuk belajar maupun membangun solidaritas/ kepekaan sosial yang selama ini telah memudar dikalangan terpelajar. Pendidikan yang selama ini hanya berorientasi pada aspek kognitif/ intelegensi sudah seharusnya memperhatikan ranah-ranah yang lainnya, salah satunya adalah aspek emosional (EQ). Kita pahami bahwa sistem pendidikan di USA suah memasukkan aspek EQ sebanyak 80% dalm proses pembelajaran dan di Jepang hanya 10 % IQ dan 90% memasukkan unsur EQ. Kemudian apa yang telah dihasilkan oleh kedua negara besar tersebut sekarang, kemajuan dan kekuatan di segala bidang.

Hal ini seharusnya juga sudah diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah kita, dengan segala permasalahan yang kita alami, mulai dari permasalahan moral, kompetensi, kompetisi, dan harga diri. Sama halnya dengan keberadaan anak yang berkebutuhan khusus dan program pendidikan inklus. Besar harapan agar anak berkebutuhan khusus akan memiliki rasa percaya diri. Sebaliknya, anak-anak normal dan teman sekolahnya akan terdidik dan belajar hidup bertoleransi antarsesama manusia.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

katanya....inklusi bukan hanya berarti belajar dalam satu ruangan yang sama, tetapi sekolah inklusi adalah tentang melayani kebutuhan individu yang luar biasa beragam dan megoptimalkan potensi setiap siswa yang belajar disana, dengan memberikan pembelajaran yang sesuai UNTUK SETIAP INDIVIDU..susah ya...!!